Selasa, 06 Januari 2009

Kesetiaan


Cinta dan kesetiaan jelas saling berdekatan, meski tak harus digambarkan bagaikan dua sisi mata uang. Cinta jelas butuh kesetiaan, sementara kesetiaan tak harus diartikan sebagai wujud cinta.

Kisah kali ini, tentang ujian kesetiaan seorang isteri yang ditinggal merantau suami ke Malaysia untuk mencari nafkah. Adalah Roch, seorang istri di Tlogoagung, Kembangbahu Lamongan yang tengah menghadapi tantangan kesetiaan. Di saat suami pergi, ada saja godaan untuk mengajaknya selingkuh. Nyatanya, dia kalah menahan godaan. Imannya sedang berfluktuasi hingga pada titik terendak. Tak ada lagi yang membentengi dirinya. Ia pun jatuh pada pelukan sejumlah laki-laki.
Seperti pengakuannya, ia pernah jatuh pada pelakukan Pak Kaur, Pak Kades dan sejumlah lelaki di desanya. Meski dia mengaku dipaksa, adalah naïf bila paksaan itu bisa berlangsung berkali-kali hingga tumbuh janin di perutnya.

Kejadian yang menimpa Roch akhirnya membuat geger desa Tlogoagung. Ratusan warga akhirnya unjukrasa menuntut Kades mundur lantaran tak bisa mengayomi warganya. Pak KAdes malah ikut-ikutnya berbuat cabul dengan seorang warga yang tengah ditinggal merantau suaminya.

Roch barangkali gambaran lemahnya seorang perempuan. Setegar-tegarnya pribadi wanita itu, sekuat-kuatnya benteng keimanannya, ada saat-saat dia lemah dan rapuh. Dua tahun ditinggal suami merantau, bukan waktu yang singkat. Bisa saja orang lain mencemooh, kalau imannya kuat tidak bakalan tergoda. Cemoohan itu jelas bukan tindakan bijaksana. Keimanan seseorang butuh dukungan. Dalam kesendirian terkadang membuat seseorang mudah tergoda. Itu pula yang dialami Roch. Kesendirian tanpa suami rupanya membuat hatinya rapuh hingga tak kuat menahan goda. Jelas bukan kesalahan Roch semata, kalau akhirnya kesetiaannya tak setangguh yang diharapkan sang suami.

Itulah di antara persoalan yang kadang mengiringi teman-teman buruh migran. Lamanya mereka berpisah dengan suami atau istri memungkinkan goyahnya kesetiaan, baik menimpa suami yang pergi merantau ataupun istri yang ditinggalkan. Begitu juga sebaliknya.

Simak juga kisah yang menimpa gadis lugu dari sebuah dusun di Jombang. Kalau ini bukan si gadis yang tidak setia. Dia jatuh pada pelukan satu lelaki ke lelaki lain, justru karena sang pacar meman sama sekali tak butuh kesetiaan. Sang pacar, Ririn memang telah dirasuki pikiran sesat. Betapa tidak, sebagai seorang kekasih, Ririn tega mengumpankan Gadis (nama samaran) pada sejumlah teman-temannya. Gadis akhirnya trauma, karena terus diancam untuk melakukan hubungan layaknya suami istri sejumlah sejumlah pemuda.

Pembaca yang budiman, entah apa yang ada di benak Ririn dengan kawan-kawannya tersebut. Sudah tidak adakah moral untuk melindungi wanita di jaman sekarang ini. Yang ada pikiran mereka sepertinya hanya soal cabul dan cabul serta pelampiasan hasrat seks. Dalam benak Ririn, tak ada kamus yang berbunyi KESETIAAN.

Dari sejumlah kasus yang menimpa anak muda, kasus seks seringkali mencuat ke permukaan menjadi cerita-cerita tragis. Dan kata kesetiaan jadi barang langka. Ini penting untuk menjadi perhatian kita bersama, adakah yang salah dari pendidikan moral bangsa ini. Betapa tidak, bukankah syiar agama hampir tiap jam mengumandang di sekitar kita. Sayangnya, jumlah kasus-kasus asusila sepertinya tidak juga berkurang. (*)

Berbugil di depan kamera


Entah sudah berapa kasus video mesum terjadi di Indonesia, entah korbannya pelajar, guru, artis hingga politisi. Mereka rupanya tidak siap dengan kemajuan teknologi handphone. Karena kecerobohannya, mereka malah jadi korban dari kemajuan teknologi itu. Sikap latah, ikut-ikutan bikin film biru yang awalnya sekedar untuk koleksi pribadi akhirnya berbuah petaka.

Kejadian terakhir yang menimpa FY dan TT, sepasang kekasih yang masih kuliah di perguruan tinggi bergengsi di Surabaya itu sungguh membuat kita prihatin. Betapa tidak, anak-anak muda pintar itu harus berhenti kuliah gara-gara sikap ceroboh yang sebenarnya bisa dihindari.

Seperti kasus-kasus video mesum sebelumnya, para korban harus menanggung malu yang tak terperikan. Bubar sekolahnya, hingga harus pindah tempat tinggal adalah cerita-cerita tragis yang mengiringi para korban kasus video mesum. Mereka umumnya tak kuasa menanggung beban rasa malu setelah adegan intim yang sangat sangat pribadi itu diketahui orang lain.

Sebagai bangsa Timur, kita memang masih memegang adat kesopanan yang bersumber pada agama. Hal-hal cabul, mesum adalah sesuatu yang sangat pribadi yang hanya layak dilakukan oleh sepasang suami istri yang telah terikat pernikahan suci. Zina apalagi dilakukan dengan direkam kamera hingga akhirnya menyebar ke masyarakat luas adalah aib.

Pertanyaannya, kenapa kasus ini terus berulang dan berulang hingga makan banyak korban. Berapa anak-anak usia sekolah, guru dan politisi yang akhirnya rontok masa depannya gara-gara membintangi video mesum. Ini sesuatu yang mestinya menjadi perhatian semua kalangan. Sikap latah ingin bergaya di depan kamera untuk adegan-adegan yang bersifat pribadi mestinya bisa kita hindari. Kampanye, jangan berbugil di depan kamera sudah seharusnya kita galakkan. (*)

PAcaran


Pacaran yang awalnya dipahami sebagai masa penjajakan untuk saling mengenal antar pribadi yang berniat hendak membangun rumah tangga, kini telah bergeser. Bahkan pacaran lebih dipahami sebagai ajang 'ujicoba' yang lebih serius. Para muda-muda menjadikan masa ini kelewat jauh hingga menjurus ke hal-hal untuk sekedar mengumbar hawa nafsu sesaat. Akhirnya jatuh banyak korban. Siapa lagi kalau bukan pihak perempuan. Banyak gadis-gadis muda belia harus kehilangan masa depan hanya gara-gara mengenal lawan jenis dengan dibungkus masa pacaran.

Pembaca yang budiman, kasus di Semarang adalah contoh tragis model pacaran anak-anak muda masa kini. Mereka tidak sekedar menjadikan masa pacaran untuk penjajakan untuk saling mengenal sifat dan perilaku masing-masing, namun lebih untuk mengenal 'tubuh' masing-masing. Terjadilah pergaulan bebas dan ujung-ujungnya jatuh korban.

Dwi Ariani yang terlanjur cinta pada Septian Agung akhirnya terlibat hubungan lebih jauh. Mereka bisa jadi tak mengenal pribadi masing-masing, namun lebih mengenal lekuk tubuh masing-masing. Terjadilah hubungan layaknya suami istri yang mestinya terlarang untuk mereka. Namun semuanya telah terlanjur. Dwi yang dikabarkan hamil akhirnya minta pertanggungjawaban Agung. Agung yang belum siap, jadi kalap dan terjadilah pembunuhan terhadap gadis, mantan karyawan Alfamart di Semarang itu.

Pembaca, gaya pacaran anak-anak muda seperti sekarang tak urung membuat orang tua seringkali wawas. Namun tidak cukup hanya wawas, para orang tua kita sudah selayaknya meningkatkan perhatian dan kewaspadaan terhadap anak-anak mereka sehingga anak-anak tetap pada rel ketika menginjak masa pacaran. Tentu tidak bijaksana melarang anak-anak gadis kita mengenal lawan jenisnya, namun membiarkan mereka terlalu bebas bergaul sama saja menjadikan anak-anak kita 'mortir' pergaulan bebas yang siap makan korban.

Selain soal gaya pacaran yang kebablasan, layak juga disimak kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah lembaga pendidikan di kota Pati, Jawa Tengah. Pelecehan yang diduga melibatkan orang penting di sebuah sekolah itu, seperti tak menemukan jalan keluar untuk penuntasan di jalur hukum. Akhirnya para korban menempuh cara unjukrasa hingga ke Jakarta, Departemen Pendidikan. Terkuaklah kasus pelecehan it u hingga pembicaraan tingkat nasional. Kembali heboh dunia pendidikan kita. (*)

Minggu, 04 Januari 2009

MENUNGGU TAKDIR


The iNSPIRATIOn

Awalnya kau bukan siapa-siapa dalam hidupku, sapamu kuanggap sebagaimana pembaca yang lain menyapaku. Waktu berganti dan kau akhirnya masuk dalam hidupku, kau sanggup menyita sebagian waktuku, bahkan mengubah sebagian agenda hidupku. Satu saat aku menganggap ini sebagai musibah dan di saat yang lain aku memahami sebagai anugerah. Dua-duanya sama, sama-sama membawa hikmah. Tak ada yang perlu disesali. Yang pasti hadirmu sebagai inspirasi dalam hidupku untuk mematangkan perjalanan spiritualku. AKu jadi lebih bersemangat untuk memahami arti ketulusan kasih sayang dan arti cinta tak harus memiliki. Namun jalan masih masih panjang. Ku akan tak bosan-bosan minta 'keadilan' pada Yang Maha Punya Cinta untuk mempertemukan cinta ini. Bersamamu adalah obsesiku hingga takdir berkata lain.


KEBERAGAMAAN

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, sebenarnya bagaimana sih kita menjalankan agama sebagaimana yang semestinya?

Aku sering melihat keberagamaan lebih pada simbol-simbol, pakai sorban, kopyah dan kemana-mana membawa tasbih? Apa begitu?

Aku kok masih merasa keberagamaan kita masih sebatas mata acara dalam satu upacara bendera setiap Hari Senin saat kita sekolah dulu, yakni membaca doa. Ya, masih sebatas doa. Agama hanyalah pelengkap dari hidup ini ketika saat saat hati kita butuh. Sementara kalau pas hidup telah nyaman, kok sepertinya kita tidak butuh Tuhan, tidak butuh agama.

Agama masih kita tempatkan sebagai subordinasi dari sejumlah agenda hidup lainnya, seperti mencari rejeki, mengejar kedududukan, mengejar target yang diamanatkan perusahaan kita bekerja, mencari istri cantik, mencari suami kaya nan rupapan, mencari restu calon mertua ketika dia masih melarang anaknya pacaran dengan kita, berharap dagangan kita laris dan agar hutang-hutang kita lunas. Ya, begitulah, agama sebatas kita butuhkan ketika kita masih punya segudang persoalan dengan agenda-agenda hidup tadi. D0a-doa lebih sering kita panjatkan untuk daya dorong agar banyak persoalan dari agenda hidup kita segera terlampaui.

Kalau agenda-agenda tadi telah terlewati, kita sudah 'mapan', agama naik sedikit statusnya jadi penambah 'gengsi'. Dengan menjalankan agama, misalnya dengan umroh atau haji, jelas status kita di masyarakat akan lebih moncer dan itu akan sangat berguna untuk mengejar agenda hidup lainnya yang sifatnya lebih pada aktualisasi diri, misalnya menjadi ketua RW, ketua KONI, Ketua Perkumpulan Pengusaha Batik, Calon Kepala Desa, anggota DPRD/DPR, calon bupati, calon gubernur bahkan calon presiden.

Ya, akhirnya keberagaman kita meningkat menjadi lebih formal karena kita telah menjadi 'orang penting'. Tidak enak sama rekan sejawat, orang di sekitar komunitas kalau kita tidak menjalankan agama sebagaimana orang-orang di sekitar kita melaksanakan ritual agama. Tapi ya itu tadi, hanya formalitas, karena sungkan dengan orang-orang di sekitar kita. Maka, nggak usah benci pada diri sendiri, ketika kita kok nggak bisa menjalankan perintah-perintah agama ketika kita sedang sendiri, karena ya itu tadi, agama sebatas formalitas demi menjaga 'hubungan sosial' dengan orang-orang sekitar, rekan sejawat, anak buah, 'bapak buah', pesaing politik dan sebagainya.

Juga nggak perlu heran, kalau kita kok malas banget ya untuk sekedar shalat subuh berjamaah di mushola kecil dekat rumah kita. Padahal itu ibadah wajib, perintahnya jelas, janji-janji Allah sangat terang, namun belum tentu dalam setahun kita bisa shalat subuh berjamaah, apalagi shalat fajar dua rekaat sebelumnya. Ah, barang langka.
Jadi keberagamaan kita kita masih jauh ya, apalagi kalau kita ingat petuah seorang teman yang hidupnya begitu sederhana, tidak kaya, tidak terhormat, pun tidak punya gensi apa apa dalam lingkungan sosial kita. Ya, Kang Parman, biasa dia kupanggil. Dia tampak ikhlas menjalani hidup ini, meskipun secara ekonomi sederhana saja. Rumahnya, motornya, perabot rumahnya biasa-biasa saja. Keluarganya selalu tampak rukun,tentram. Anak-anaknya yang sebagian telah duduk di bangku SMA pintar-pintar. Kata Kang Parman, keberagamaan adalah totalitas (sistem) dari hidup itu sendiri yang dilandasi semangat untuk mengabdi pada Allah SWT, apa pun keadaan dan kondisi kita, sebagaimana telah dicontohkan Ibrahim, AS dan Muhammad Rusulullah. (*)

Sabtu, 03 Januari 2009

Derita Penyanyi Dangdut

Sebenarnya ini cerita klise tentang perjalanan karir seorang artis.

Bila tak segera melompat karirnya, justru permasalahan lain yang muncul yang lebih heboh, hingga lebih bisa mengangkat namanya. Masih ingat, perjalanan karir penyanyi dangdut Maria Eva. Karir menyanyinya tak juga beranjak dari kelas lokal, namun tiba-tiba namanya melejit menyusul kasus VCD pornonya yang dilakoni dengan politisi Golkar YZ. Sejak itu, berkibarlah nama Maria Eva, sebagai penyanyi dangdut yang berhasil menggaet dan menenggelamkan karir politisi itu.

Pembaca, kini kasus yang sama juga dialami penyanyi dangdut Dyah Triastian (23), asal Desa Punggul, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo. Namanya memang belum ngetop sebagai penyanyi untuk tingkat nasional. Tiba-tiba namanya melejit dan orang jadi tahu siapa dia sebenarnya setelah laporannya ke polisi terkait kasus perselingkuhan yang dialami dengan pengusaha KH. Dyah melaporkan KH telah melakukan perkosaan di sebuah hotel di Surabaya beberapa waktu lalu. Kebersamaan dia dengan pengusaha SPBU itu lantaran ada janji dari pengusaha itu untuk ikut mempromosikan album Dyah.

Sebagai pengusaha, KH memang suka dangdut. Tak hanya sekali, KH ikut menikmati aksi panggung Dyah di sejumlah lokasi. KH rupanya menaruh hati pada Dyah hingga memberikan janji-janji membantu mempromosikan album baru.

Pembaca yang budiman, itulah di antara kisah yang patut disimak. Memang tidak mudah merintis karir di dunia artis, baik penyanyi ataupun bintang sinetron. Kerap kita hanya bisa melihat betapa enaknya artis papan atas. Sekali tampil (manggung), honornya sudah setara gaji seorang eksekutif muda di perusahaan besar. Kita lantas menghitung-hitung berapa honor artis papan atas dalam waktu setahun. Sudah ratusan miliar.

Sementara, kita jarang memperhatikan bagaimana seorang yang tengah meniti karir dari bawah. Bagaimana mereka harus berlatih keras, manggung dari kampung-kampung sepi, dengan penonton sepi, namun hanya digaji setara buruh pabrik. Namun karena terlanjur komit dengan jiwa seninya, mereka terus berkarya dan berkarya. Tidak jarang, artis-artis yang sedang meniti karir ini 'jatuh' dan tak tahan godaan. Ada sebagian dari mereka – tentu tidak semua- akhirnya menempuh segala cara yang penting nama lekas melejit dan order tambah. Dengan cara inipun tak mesti manjur, bisa jadi mereka hanya jadi korban bujuk rayu orang-orang tak bertanggungjawab. (*)

Ulfa

Sebulan sudah berita tentang perkawinan Pujiono Cahyo Widianto (43) alias Sheh Puji dengan Lutviana Ulfa (12) menghiasi sebagian besar media nasional baik cetak maupun televisi. Sejumlah pihak menyesalkan perkawinan itu karena Ulfa masih berumur 12 tahun, jauh dari usia dewasa yang layak untuk dinikahi 16 tahun.

Kontroversi pun merebak. sementara Sheh Puji mengacu pada ajaran yang dianutnya, mencontoh pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bahwa Ulfa telah layak diperistri karena sudah M. Istri pun pertamanya juga telah mengijinkan.

Namun para pihak termasuk kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komnas Perlindungan Anak tetap mempersalahkan Sheh Puji. Tuntutannya jelas, Ulfa harus dilindungi hingga ia benar-benar siap secara fisik dan psikis untuk menikah. Pendekatan dan dialog terus dilakukan antara Kak Seto dari Komnas Perlindungan Anak dengan Sheh Puji. Akhirnya ditemukanlah formula penyelesaian, Ulfa dititipkan kepada orang tuanya hingga batas waktu tertentu. Bukan diceraikannya. Sheh Puji setuju dan akhirnya digelarlah upacara penitipan itu. Itulah puncak penyelesaian kontroversi perkawinan yang paling menghebohkan di penghujung tahun 2008 ini.

Pembaca, munculnya kontroversi pernikahan antara Sheh Puji dengan Lutviana Ulfa, sebenarnya membuka pemahaman banyak pihak akan fenomena pernikahan dibawah umur. Di sejumlah daerah, ambil contoh di Madura dan Indramayu, pernikahan dibawah umur memang jamak terjadi. Namun selama ini luput dari perhatian, karena mereka yang menikah adalah pemuda-pemudi kampung 'biasa", bukan pemuda kaya raya.

Dengan kejadian Sheh Puji ini, semua pihak mestinya jadi lebih tahu betapa pernikahan di usia muda patut untuk dijadikan bahan perhatian. Umur muda yang secara psikis dan fisik belum matang, jelas rentan ketika menghadapi magligai rumah tangga. Mereka belum matang menghadapi permasalahan hidup yang kompleks. Benar kata Kak Seto, pernikahan anak di bawah umur adalah fenomena gunung es yang butuh perhatian kita semua. (*)

Buruh Migran Sebagai Pilihan

Bagi sebagian orang, menjadi buruh migran atau menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah sebagai pelarian. Baik karena alasan pribadi maupun alasan umum, karena susahnya menjadi pekerjaan di Tanah Air. Mereka berangkat tidak didasari alasan kuat dan rasional, namun lebih karena keterpaksaan, sebagai pilihan terakhir dari sekian upaya yang telah mereka lakukan. Andai masih bisa memilih, tentu mereka tidak berangkat ke luar negeri. Sekali lagi, tentu tidak semua buruh migran menganut jalan pikiran seperti itu.

Pembaca yang budiman, seiring dengan kemajuan teknologi dimana jarak dan waktu tidak lagi jadi kendala serius, menjadi buruh migran sudah semestinya menjadi alternatif pilihan. Terlebih melihat kondisi di Tanah Air dimana pemerintah tak juga kunjung sigap dalam menyediakan lapangan kerja, maka tidak ada yang salah menjadi buruh migran.

Seperti diutarakan Kepala BN2PTKI, M. Jumhur Hidayat, bila negara-negara maju bisa mengekspor produk-produknya, kita sebagai negara sedang berkembang bisa mengekspor tenaga kerja. Dan itu sah-sah saja. Tinggal bagaimana kita menyiapkan tenaga terampil sesuai kebutuhan di negara-negara maju.

Dan peluang ke arah itu sangat terbuka lebar.

Salah contoh adalah pekerjaan merawat orang jompo. Seperti diketahui, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, Jepang dan China, maka tingkat harapan hidup penduduknya semakin tinggi pula. Hal ini berpengaruh pada membludaknya jumlah penduduk usia non produktif. Mereka adalah orang-orang usia pensiun hingga usia lanjut. Mereka butuh teman untuk merawat dan itu tak bisa mengandalkan anak-anak mereka sebagaimana di negeri kita. Kebanyakan penduduk di negara maju, baik suami maupun istri bekerja dan tidak ada waktu untuk merawat orang tua mereka yang usianya lanjut. Inilah peluang bagi buruh migran Indonesia untuk bekerja di negara-negara itu.

Dengan standar gaji yang lumayan, keberangkatan BMI ke negara-negara itu adalah sulusi cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan bagi keluarga di Tanah Air. Bagi pemerintah sendiri, keberangkatan BMI adalah dewa penolong, karena mengurangi pengangguran secara signifikan. Belum lagi kiriman devisa yang terus meningkat.

Yang masih disesalkan, aparat pemerintah seperti tak tahu diuntung. Mereka tak juga mengambil langkah-langkah kongkrit dalam melindungi keberadaan BMI. Masih saja ditemukan praktek-praktek dan kebijakan yang tidak berpihak pada BMI. Timbulnya masalah-masalah tentang BMI sampai pada batas tertentu adalah tolok ukur betapa lemahnya keberpihakan pemerintah pada BMI.

Langkah-langkah nyata memberikan pemahaman yang cerdas bagi calon BMI tentang prosedur penempatan BMI, perlindungan yang nyata bila BMI menemukan masalah mestinya jadi jadi prioritas. (*)

permata hati


Ilham dan Rinda, Merekalah permata hatiku. Sejuta rasa telah kudapatkan dari mereka, sejuta inspirasi senantiasa kudapat tatkala memadangi mereka. Mereka anak-anak cerdas yng membuatku makin semangat menapaki hidup ini.