Minggu, 04 Januari 2009

KEBERAGAMAAN

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, sebenarnya bagaimana sih kita menjalankan agama sebagaimana yang semestinya?

Aku sering melihat keberagamaan lebih pada simbol-simbol, pakai sorban, kopyah dan kemana-mana membawa tasbih? Apa begitu?

Aku kok masih merasa keberagamaan kita masih sebatas mata acara dalam satu upacara bendera setiap Hari Senin saat kita sekolah dulu, yakni membaca doa. Ya, masih sebatas doa. Agama hanyalah pelengkap dari hidup ini ketika saat saat hati kita butuh. Sementara kalau pas hidup telah nyaman, kok sepertinya kita tidak butuh Tuhan, tidak butuh agama.

Agama masih kita tempatkan sebagai subordinasi dari sejumlah agenda hidup lainnya, seperti mencari rejeki, mengejar kedududukan, mengejar target yang diamanatkan perusahaan kita bekerja, mencari istri cantik, mencari suami kaya nan rupapan, mencari restu calon mertua ketika dia masih melarang anaknya pacaran dengan kita, berharap dagangan kita laris dan agar hutang-hutang kita lunas. Ya, begitulah, agama sebatas kita butuhkan ketika kita masih punya segudang persoalan dengan agenda-agenda hidup tadi. D0a-doa lebih sering kita panjatkan untuk daya dorong agar banyak persoalan dari agenda hidup kita segera terlampaui.

Kalau agenda-agenda tadi telah terlewati, kita sudah 'mapan', agama naik sedikit statusnya jadi penambah 'gengsi'. Dengan menjalankan agama, misalnya dengan umroh atau haji, jelas status kita di masyarakat akan lebih moncer dan itu akan sangat berguna untuk mengejar agenda hidup lainnya yang sifatnya lebih pada aktualisasi diri, misalnya menjadi ketua RW, ketua KONI, Ketua Perkumpulan Pengusaha Batik, Calon Kepala Desa, anggota DPRD/DPR, calon bupati, calon gubernur bahkan calon presiden.

Ya, akhirnya keberagaman kita meningkat menjadi lebih formal karena kita telah menjadi 'orang penting'. Tidak enak sama rekan sejawat, orang di sekitar komunitas kalau kita tidak menjalankan agama sebagaimana orang-orang di sekitar kita melaksanakan ritual agama. Tapi ya itu tadi, hanya formalitas, karena sungkan dengan orang-orang di sekitar kita. Maka, nggak usah benci pada diri sendiri, ketika kita kok nggak bisa menjalankan perintah-perintah agama ketika kita sedang sendiri, karena ya itu tadi, agama sebatas formalitas demi menjaga 'hubungan sosial' dengan orang-orang sekitar, rekan sejawat, anak buah, 'bapak buah', pesaing politik dan sebagainya.

Juga nggak perlu heran, kalau kita kok malas banget ya untuk sekedar shalat subuh berjamaah di mushola kecil dekat rumah kita. Padahal itu ibadah wajib, perintahnya jelas, janji-janji Allah sangat terang, namun belum tentu dalam setahun kita bisa shalat subuh berjamaah, apalagi shalat fajar dua rekaat sebelumnya. Ah, barang langka.
Jadi keberagamaan kita kita masih jauh ya, apalagi kalau kita ingat petuah seorang teman yang hidupnya begitu sederhana, tidak kaya, tidak terhormat, pun tidak punya gensi apa apa dalam lingkungan sosial kita. Ya, Kang Parman, biasa dia kupanggil. Dia tampak ikhlas menjalani hidup ini, meskipun secara ekonomi sederhana saja. Rumahnya, motornya, perabot rumahnya biasa-biasa saja. Keluarganya selalu tampak rukun,tentram. Anak-anaknya yang sebagian telah duduk di bangku SMA pintar-pintar. Kata Kang Parman, keberagamaan adalah totalitas (sistem) dari hidup itu sendiri yang dilandasi semangat untuk mengabdi pada Allah SWT, apa pun keadaan dan kondisi kita, sebagaimana telah dicontohkan Ibrahim, AS dan Muhammad Rusulullah. (*)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda