Rabu, 28 April 2010

DOA LELAKI



Di satu malam yang sunyi, lelaki itu dalam doanya berujar, “Ya Allah pemahaman akan makna hidup yang mana lagi yang ingin Kau ajarkan padaku atas peristiwa ini? Kesabarankah, keikhlasankah, atau makna cinta seperti apa? Bukankah aku sudah mencoba sepenuhnya untuk sabar menghadapi segala kekonyolannya, kemanjaannya, bahkan juga segala pelecehannya? Ya, Allah sungguh aku merasa berat menahan segala rasa ini. Berilah aku kekuatan, juga kesabaran hingga aku bisa melewati semua ini tanpa harus mengganggu menunaikan segala kewajibanmu, bekerja dan beribadah kepadamu?”

Ya lelaki bertubuh sedang itu hari-hari ini memang terus diliputi gelisah. Bukan soal pekerjaannya yang menumpuk, juga bukan soal keluarganya, apalagi hubungan sosialnya. Di lingkungan sosialnya, maupun lingkungan pekerjaannya, ia tipe lelaki yang ‘mudah’. Tidak ada yang perlu dipersulit kalau memang masih dibuat mudah. Itu prinsipnya. Ia merasakan hatinya bergejolak karena ‘rasa’ yang dialaminya dengan seorang wanita yang selama setahun terakhir mengisi sebagian ruang kosong lain di hatinya. Ia seperti tak bisa memilih. Wanita itu datang dengan pelan namun pasti mengisi hatinya. Awalnya ia memang gamang, merasa tak pantas –karena menyadari keadaan dan kekurangannya- namun ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa perempuan itu bagian dari hidupnya.

Ya, kedengarannya memang berlebihan kesimpulan lelaki itu. Tapi itulah yang terjadi. Ia memang terlalu serius dalam hidupnya, terlebih soal urusan rasa dan wanita. Tidak ada istilah main-main dalam hidupnya soal urusan wanita. Tidak ada warna ‘abu-abu’ untuk urusan wanita, yang ada hitam dan putih. Ya atau tidak. Kini ia sudah berkata ya pada seorang wanita, maka seluruh perhatian yang tercurah. Itu mungkin awal kesalahan-kalau bisa disebut sebagai kesalahan lelaki itu.

Namun kini ia sedang diuji atas hubungannya dengan wanita yang sama sekali belum pernah disentuhnya itu. Ia merasa kasih dan sayangnya hanya bertepuk sebelah tangan. Diam-diam wanita yang hampir satu setengah tahun selalu menemani malam-malamnya itu, hatinya sedang gamang. Hati wanita itu bimbang pada keputusan awal karena kehadiran sosok lain yang di waktu yang lalu pernah singgah di hatinya.

Sungguh keadaan yang teramat berat dirasakan lelaki itu menghadapi kondisi ini. Ia merasa pengorbanan “rasa” –karena hanya itu yang ia milliki- tak mendapatkan balasan yang semestinya. Permintaannya untuk sekedar menjaga rasa itu berkali-kali disepelekan wanitanya. Ia sampai bingung harus dengan pilihan kata yang mana lagi hingga bisa “sampai” di hati wanita itu. Ya, lelaki itu memang tipe pencemburu. Tapi ia rasa cemburu yang beralasan bukan cemburu buta. Ia pun tahu wanitanya memang pintar bergaul dengan banyak lelaki, namun bukan karena itu lelaki itu tersulut cemburunya.

Lelaki itu kini hanya bisa nelongso. Di satu sisi, ia menyadari- bahkan sejak awal, jauh sebelum ia mengambil keputusan- atas keadaan dan kekurangannya, namun di sisi lain ia tak bisa menolak “rasa” yang kini telah bersemayam terlalu dalam di hatinya.

Ia akhirnya mencoba mengalah dan memberi kesempatan pada wanita itu untuk kembali menemukan sosok lain. Namun itu ternyata tidak mudah, kehadiran wanitu itu ternyata terlalu kuat, bahkan mungkin sudah sampai di palung hatinya yang terdalam. Tidak mudah menghempaskan bayang-bayang wanita itu. Memang terasa aneh yang dirasakan. Ia sama sekali belum pernah bertemu muka dengan wanita itu-sekalipun lewat dunia maya. Ia hanya bisa mendengar suara dan melihat fotonya. Namun entah mengapa, sosok wanita kini hampir mencabut separuh ‘nyawanya’. Satu tahun sudah hubungan itu terjalin. Sejuta rasa telah berdua reguk bersama. Ada tawa, ada canda, ada duka, ada juga birahi, meski sebatas maya dan mimpi.

Mimpi-mimpinya tentang masa depan juga telah mereka bangun bersama. Lelaki itu memang terus berusaha menjaga mimpi-mimpi itu sambil terus berusaha. Ia terus mencoba memahami apa yang mesti dia kerjakan untuk mewujudkan mimpi-mimpinnya itu. Bukannya ia sombong ingin merengkuh “dua dunia” dalam hidupnya. Ia hanya paham bahwa mencintai dua wanita bukanlah dosa. Sesederhana itu saja pola pikirnya.

Maka lelaki itu pun terus mengadu pada langit tentang apa yang dirasakan. Tak bosan-bosannya ia istighfar, dan bertanya pada Tuhannya kenapa harus diberi cobaan seperti ini. Kadang ia berfikir, andai ia bisa memilih, jujur ia tak ingin memilih kondisi ini. Ia kadang ingin seperti kebanyakan lelaki lain, menjadikan wanita dan wanita dan wanita lainnya sekedar ‘pemanis’ dan juga ‘hiasan dinding rumah tangganya’ tanpa sekalipun mengijinkan wanita-wanita itu menginjak ‘teras depan rumah tangganya’. Sayang seribu sayang, ia tak bisa seperti itu. Ia bahkan telah mengijikan wanita ini tidak saja memasuki ruang tamu, namun juga ruang pribadinya. Di matanya, wanita itu terlalu mulia untuk sekedar duduk di ruang tamu, ia sangat layak untuk tidur dan mengattur segala ruang pribadinya.

Dan lelaki itu terus berdoa. Akhirnya di satu malam yang lain , lelaki itu bermimpi bertemu dengan orang sepuh dan memberikan petuahnya. “Kamu lelaki kok cengeng. Apa tidak ada kesibukan lain harus membuang waktu bermain rasa dengan wanita yang belum pernah tahu batang hidungnya, belum tahu raut wajahnya, belum tahu apa agenda hidupnya. Sudahlah, akhiri semua petualangan “rasamu”, hiduplah yang realistis, jadilah seperti kebanyakan pria lain, yang “nyata”, yang tidak sekedar angan-angan. Belum tentu wanita yang kau fikirkan, akan berfikir seperti yang kau fikirkan selama ini, hingga menghabiskan waktu dan tenagamu. Sudahlah lelaki, di luar sana masih banyak yang bisa kau kerjakan. Kenapa kau harus memegang janji, padahal dia sudah lupa janjinya sendiri, kenapa kau masih memegang kata-katanya, sementara dia mungkin sudah tidak ingat lagi kata-kata yang pernah diucapkan padamu”.

Lelaki itu terus merenungi mimpinya. Ia pun setuju yang diucapkan orang sepuh itu ada benarnya. Fikirannya memang menjangkau, tapi lagi-lagi perasannya tidak bisa diajak kompromi. Ia memang menyadari terlalu bermain rasa, hingga terlalu serius memaknai hubungannya dengan wanita itu. Padahal mungkin saja wanita itu tak seserius yang ia bayangkan. Maka lelaki itu kembali berdoa di satu malam berikutnya, ”Ya Allah, aku ingin Engkau meyakinkanku bahwa rasa ini anugerahMu,-bukan sekedar nafsuku. Dan tanda-tanda sebenarnya aku rasakan, karena “rasa’ ini begitu damai dan menentramkan. Maka ijinkan aku ya Allah untuk bisa bertemu dengannya dalam naungan payung sucimu, sungguh aku merasa nyaman berada di jalan-Mu, maka periharalah aku tetap berada di jalan-Mu”. (*)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda